Selasa, 29 September 2009
Belalang membawa berkah atau musibah?
Memelihara burung berkicau memang merupakan hoby yang sangat menyenagkan, namun jika kita tidak menyadari akan pentingnya menjaga kelestarian populasinya, bukan tidak mungkin justru kita akan menjadikan mereka punah. Sebagai contoh, jika kita pergi ke perbukitan kapur blitar selatan, sekarang agak jarang kita temukan burung cendet, kutilang, trocok, dll.
Banyaknya orang-orang yang menangkap burung secara besar-besaran menjadikan populasi burung berkurang secara drastis bahkan sagat memungkinkan bisa sampai punah. Hal ini secara alami akan menyebabkan populasi serangga atau hewan kecil seperti ulat dan belalang yang menjadi makanan burung tersebut bertambah pesat dan tidak terkontrol lagi. Dalam hal ini sebagai contoh adalah “belalang”. Berjuta-juta bahkan milyaran anak belalang tumbuh dengan pesat tanpa ada yang kontrol dari burung pemakan belalang.
Populasi belalang yang tidak terkendali secara otomatis akan menjadikan ketersediaan makanan mereka berkurang sehingga bukan hanya tanaman-tanaman liar saja yang biasanya diserang namun juga kebun-kebun petani terutama tanaman jagung, ketela dan padi. Bahkan belalang juga bermigrasi turun bukit menuju perkampungan untuk memakan daun kelapa, pisang, jati, dll. Ini semua tentunya karena akibat ulah manusia yang kurang mengerti tentang pentingnya menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup.
Bagi petani yang kebunnya diserang oleh milyaran belalang, tentunya ini menjadi musibah yang sangat merugikan, namun bagi sebagian orang, wabah belalang ternyata juga bisa menjadikan berkah tersendiri karena belalang-belalang tersebut dapat dijadikan lauk-pauk maupun dijual untuk mendapatkan uang.
Pengalaman menarik saat mencari belalang
Di atas bukit, pada malam hari banyak terlihat lampu senter saling bersautan, orang-orang menaiki bukit untuk menangkap belalang yang akan dijadikan lauk pauk maupun dijual sebagai nafkah tambahan. Saat aku dan 4 orang temanku mencari belalang, ternyata di atas bukit kami juga bertemu dengan beberapa kelompok orang yang sedang mencari belalang.
Dengan berbekal lampu senter, jerigen, karung, sepatu gunung dan topi, kami naik dan turun bukit menelusuri semak dan perkebunan hingga jarak kurang lebih 3 km. Pada malam hari belalang tidur di pepohonan sehingga dengan mudah mereka dapat ditangkap dengan tangan kosong. Satu per satu belalang pun kami tangkap dan kami masukkan dalam jerigen, rata-rata dari kami mendapatkan 1 kg belalang dalam waktu kurang lebih 1-2 jam.
Setelah dirasa cukup, kami pulang dan mebersihkan belalang untuk dimasak. Setelah dibumbui, belalang dapat kita goreng langsung maupun kita olah menjadi keripik maupun rempeyek. “Hmmm…rasa belalang memang gurih seperti udang goreng, bahkan lebih gurih”. Namun kita perlu berhati-hati jika memakan belalang terutama bagi yang mempunyai “alergi belalang” karena akan menyebabkan gatal-gatal yang luar biasa di sekujur tubuh. Sebenarnya aku juga alergi terhadap belalang namun karena aku suka banget, makanya sebelum makan belalang goreng, terlebih dahulu aku memakan pil anti alergi. Ternyata dengan hanya memakan 2 kali pil anti alergi, aku sudah tahan terhadap belalang goreng hingga musim belalang habis.
Bagi yang tidak suka memakan belalang, kita dapat menjulnya. Jika kita menjualnya ke pengepul, harga per 1 kg belalang bisa mencapai Rp.10.000,- – Rp.15.000,- lumayan dapat menjadi ganti biaya bumbu masak yang lain. Namun berbeda sekali jika kita membeli pada pedagang sayur keliling, harga per 10 ekornya adalah Rp.1.000,-
Baca selanjutnya
Langganan:
Postingan (Atom)